Meneladani Semangat Kepemudaan Sultan Muhammad Al-Fatih
Sultan Mehmed II atau juga dikenal Sultan Muhammad Al Fatih (30 Maret 1432 – 3 Mei 1481), beliau adalah Sultan yang memerintah di Dinasti Turki Utsmani.
Muhammad Al Fatih dilahirkan di Edirin pada 30 Maret 1423 M yang mana pada waktu itu Edirin adalah pusat kota pemerintahan Dinasti Turki Utsmani.
Beliau adalah putra dari Sultan Murad II beliau hidup di masa setelahnya Sultan Salahuddin Al-Ayyubi (pahlawan perang Salib) 1137 -1193 M.
Sultan Muhammad Al Fatih sudah terangkat menjadi sultan ketika usianya baru menginjak 12 Tahun.
Mendapat julukan Al Fatih (sang penakluk) karena telah berhasil menaklukkan Konstantinopel dan itu terjadi pada saat usianya masih 21 Tahun.
Sultan Muhammad Al Fatih mempunyai kepakaran dalam bidang ketentaraan, sains, matematika & menguasai 6 bahasa.
Luar bisasanya keberadaan Muhammad Al-Fatih ini pun telah diprediksi oleh Rasulullah SAW dalam sabdanya:
“Kota Konstantinopel akan jatuh ke tangan Islam. Pemimpin yang menaklukkannya adalah sebaik-baik pemimpin dan pasukan yang berada di bawah komandonya adalah sebaik-baik pasukan.” [H.R. Ahmad bin Hanbal Al-Musnad 4/335].
Dari sudut pandang Islam, ia dikenal sebagai seorang pemimpin yang hebat, pilih tanding, dan tawadhu.
Kejayaannya dalam menaklukkan Konstantinopel menyebabkan banyak kawan dan lawan kagum dengan kepemimpinannya serta taktik dan strategi peperangannya yang dikatakan mendahului pada zamannya dan juga kaedah pemilihan tentaranya.
Ia merupakan anak didik Syekh Syamsuddin yang masih merupakan keturunan Abu Bakar As-Siddiq.
Ia jugalah yang mengganti nama Konstantinopel menjadi Islambol (Islam keseluruhannya).
Kini nama tersebut telah diganti oleh Mustafa Kemal Ataturk menjadi Istanbul.
Sultan ketujuh dalam sejarah Bani Utsmaniah
Al-Fatih adalah gelar yang senantiasa melekat pada namanya karena ialah yang mengakhiri atau menaklukkan Kerajaan Romawi Timur yang telah berkuasa selama 11 abad.
Sultan Muhammad Al Fatih memerintah selama 30 tahun.
Selain menaklukkan Binzantium, ia juga berhasil menaklukkan wilayah-wilayah di Asia, menyatukan kerajaan-kerajaan Anatolia dan wilayah-wilayah Eropa, dan termasuk jasanya yang paling penting adalah berhasil mengadaptasi menajemen Kerajaan Bizantium yang telah matang ke dalam Kerajaan Utsmani.
Karakter Pemimpin yang Tertanam Sejak Kecil
Semenjak kecil, beliau telah mencermati usaha ayahnya untuk menaklukkan Konstantinopel.
Bahkan beliau telah mengkaji usaha yang pernah ia buat sepanjang sejarah Islam untuk menaklukkan Konstantinopel. Sehingga menimbulkan keinginan yang kuat baginya meneruskan cita-cita umat Islam.
Ketika beliau naik tahta pada tahun 1451 M, dia telah mulai berpikir dan menyusun strategi untuk menawan kota bandar (kota/kota pelabuhan) tersebut.
Kekuatan Sultan Muhammad Al Fatih terletak pada ketinggian pribadinya.
Sejak kecil ia terdidik secara intensif oleh para ulama terkemuka pada zamannya.
Di zaman ayahnya, yaitu Sultan Murad II, Sultan Murad II telah menghantar beberapa orang ulama’ untuk mengajar anaknya (Sultan Muhammad Al Fatih), tetapi oleh Sultan Muhammad Al Fatih menolaknya.
Lalu, dia menghantar Asy-Syeikh Al-Kurani dan memberikan kuasa kepadanya untuk memukul Sultan Muhammad Al Fatih jika beliau membantah perintah gurunya.
Menjadi Penguasa Utsmani
Sultan Muhammad II terangkat menjadi Khalifah Utsmaniyah pada tanggal 5 Muharam 855 H bersamaan dengan 7 Febuari 1451 M.
Program besar yang langsung ia canangkan ketika menjabat sebagai khalifah adalah menaklukkan Konstantinopel.
Langkah pertama yang Sultan Muhammad lakukan untuk mewujudkan cita-citanya adalah melakukan kebijakan militer dan politik luar negeri yang strategis.
Ia memperbarui perjanjian dan kesepakatan yang telah terjalin dengan negara-negara tetangga dan sekutu-sekutu militernya.
Pengaturan ulang perjanjian tersebut bertujuan menghilangkan pengaruh Kerajaan Bizantium Romawi di wilayah-wilayah tetangga Utsmaniah baik secara politis maupun militer.
Menaklukkan Bizantium
Al Fatih juga menyiapkan lebih dari 4 juta prajurit yang akan mengepung Konstantinopel dari darat.
Pada saat mengepung benteng Bizantium banyak pasukan Utsmani yang gugur karena kuatnya pertahanan benteng tersebut.
Pengepungan yang berlangsung tidak kurang dari 50 hari itu, benar-benar menguji kesabaran pasukan Utsmani, menguras tenaga, pikiran, dan perbekalan mereka.
Pertahanan yang tangguh dari kerajaan besar Romawi ini terlihat sejak mula.
Sebelum musuh mencapai benteng mereka, Bizantium telah memagari laut mereka dengan rantai yang membentang di semenanjung Tanduk Emas. Tidak mungkin bisa menyentuh benteng Bizantium kecuali dengan melintasi rantai tersebut.
Akhirnya Sultan Muhammad Al Fatih menemukan ide yang ia anggap merupakan satu-satunya cara agar bisa melewati pagar tersebut.
Ide ini mirip dengan yang para pangeran Kiev lakukan saat menyerang Bizantium pada abad ke-10. Para pangeran Kiev menarik kapalnya keluar Selat Bosporus, mengelilingi Galata, dan meluncurkannya kembali pada Tanduk Emas, akan tetapi pasukan mereka tetap terkalahkan oleh orang-orang Bizantium Romawi.
Terkenal dengan nama Sultan Muhammad Al Fatih
Sultan Muhammad melakukannya dengan cara yang lebih cerdik lagi, ia menggandeng 70 kapalnya melintasi Galata ke muara setelah meminyaki batang-batang kayu. Hal itu ia lakukan dalam waktu yang sangat singkat, tidak sampai satu malam.
Pada pagi hari, Bizantium kaget bukan kepalang, mereka sama sekali tidak mengira Sultan Muhammad dan pasukannya menyeberangkan kapal-kapal mereka lewat jalur darat.
70 kapal laut Sultan Muhammad Al Fatih sebrangkan melalui jalur darat yang masih banyak tumbuh pohon-pohon besar. Menebangi pohon-pohonnya dan menyeberangkan kapal-kapal dalam waktu satu malam adalah suatu kemustahilan menurut mereka, akan tetapi itulah yang terjadi.
Peperangan dahsyat pun terjadi, benteng yang tak tersentuh sebagai simbol kekuatan Bizantium itu akhirnya terkena serangan oleh orang-orang yang tidak takut akan kematian. Akhirnya kerajaan besar yang berumur 11 abad itu jatuh ke tangan kaum muslimin.
Peperangan besar itu mengakibatkan 265.000 pasukan umat Islam gugur.
Pada tanggal 20 Jumadil Awal 857 H bersamaan dengan 29 Mei 1453 M, Sultan al-Ghazi Muhammad berhasil memasuki Kota Konstantinopel.
Sejak saat itulah nama Sultan Muhammad al-Fatih lebih dikenal, yaitu sebagai penakluk Konstantinopel.
Saat memasuki Konstantinopel, Sultan Muhammad Al Fatih turun dari kudanya lalu sujud sebagai tanda syukur kepada Allah. Setelah itu, ia menuju Gereja Hagia Sophia dan memerintahkan menggantinya menjadi masjid.
Konstantinopel menjadi ibu kota, pusat pemerintah Kerajaan Utsmani dan kota ini namanya menjadi Islambul yang berarti negeri Islam, lau akhirnya mengalami perubahan menjadi Istanbul.
Setelah itu rentetan penaklukkan strategis Sultan Muhammad Al Fatih lakukan bersama kelompoknya. Beliau membawa pasukannya menkalukkan Balkan, Yunani, Rumania, Albania, Asia Kecil, dll.
Bahkan ia telah mempersiapkan pasukan dan mengatur strategi untuk menaklukkan kerajaan Romawi di Italia, akan tetapi kematian telah menghalanginya untuk mewujudkan hal itu.
Peradaban yang Terbangun pada Masanya
Selain terkenal sebagai jenderal perang dan berhasil memperluas kekuasaan Utsmani melebihi sultan-sultan lainnya. Muhammad al-Fatih juga terkenal sebagai seorang penyair. Ia memiliki lembaga pemerintahan sendiri pada masanya, kumpulan syair yang ia buat sendiri.
Sultan Muhammad juga membangun lebih dari 300 masjid, 57 sekolah, dan 59 tempat pemandian pada berbagai wilayah Utsmani.
Peninggalannya yang paling terkenal adalah Masjid Sultan Muhammad II dan Jami’ Abu Ayyub al-Anshari.
Wafatnya Sang Penakluk
Pada bulan Rabiul Awal tahun 886 H/1481 M, Sultan Muhammad al-Fatih pergi dari Istanbul untuk berjihad, padahal ia sedang dalam kondisi tidak sehat.
Di tengah perjalanan sakit yang ia derita kian parah dan semakin berat ia rasakan.
Dokter pun berdatangan untuk mengobatinya, namun dokter dan obat tidak lagi bermanfaat bagi sang Sultan. Sultan wafat antara pasukannya pada hari Kamis, tanggal 4 Rabiul Awal 886 H/3 Mei 1481 M.
Saat itu Sultan Muhammad berusia 52 tahun dan memerintah selama 31 tahun.
Ada yang mengatakan wafatnya Sultan Muhammad al-Fatih karena racun dari dokter pribadinya Ya’qub Basya, Wallahu a’lam.
Tidak ada keterangan yang bisa menjadi sandaran kemana Sultan Muhammad II hendak membawa pasukannya. Ada yang mengatakan beliau hendak menuju Itali untuk menaklukkan Roma ada juga yang mengatakan menuju Prancis atau Spanyol.
Sebelum wafat, Muhammad al-Fatih mewasiatkan kepada putra dan penerus tahtanya, Sultan Bayazid II agar senantiasa dekat dengan para ulama, berbuat adil, tidak tertipu dengan harta, dan benar-benar menjaga agama baik untuk pribadi, masyarakat, dan kerajaan.