Pajak dan Zakat – Rencana kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12 persen per 1 Januari 2025 sempat menjadi topik hangat di tengah masyarakat. Meskipun akhirnya dibatalkan, isu ini meninggalkan rasa pesimis di kalangan mayoritas masyarakat Indonesia terhadap kebijakan perpajakan.
Salah satu contohnya adalah munculnya narasi ‘Pajak versus Zakat’, di mana masyarakat mulai membandingkan kedua aturan tersebut. Lalu, sejauh mana pengaruh masing-masing terhadap kesejahteraan masyarakat?
Artikel Kata Pakar kali ini membahas topik pajak dan zakat menurut pandangan Yusuf Wibisono, seorang peneliti dari IDEAS (Institute For Demographic and Poverty Studies). Saat ini, ia menjabat sebagai Direktur Next Policy dan juga menjadi Dosen di Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia (FEUI).
Yusuf Wibisono telah mendalami bidang ekonomi makro dan regional sejak tahun 2000, serta fokus pada ekonomi Islam sejak 2004, dengan keahlian khusus dalam ekonomi moneter keuangan Islam dan keuangan publik Islam.
Memahami Pajak dan Zakat Bersama Yusuf Wibisono
Yusuf Wibisono menjelaskan bahwa pajak dan zakat adalah mekanisme penarikan harta dari masyarakat yang bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan publik. Keduanya berada pada domain yang berbeda. Di Indonesia, negara memiliki kewenangan penuh untuk menerapkan kebijakan pajak, sementara zakat merupakan syariat yang berlaku bagi umat Muslim di tanah air.
Yusuf menjelaskan bahwa zakat adalah pengumpulan harta dari umat Muslim yang mampu, yang hasilnya disalurkan kepada penerima manfaat tertentu. Penerima zakat memiliki kriteria spesifik, yaitu fakir, miskin, mualaf, amil, individu yang membutuhkan pemberdayaan seperti budak yang ingin merdeka, gharimin atau mereka yang terlilit utang, fi sabilillah atau orang yang berjuang di jalan Allah, serta ibnu sabil atau pelajar yang sedang menuntut ilmu.
“Zakat memiliki ketentuan yang jelas. Zakat fitrah setara dengan 2,5 kilogram bahan makanan pokok di setiap daerah, sedangkan zakat mal (harta) sebesar 2,5 persen dari penghasilan.
Baja Juga: Zakat Maal – Pengertian, Rukun, Syarat & Macam-Macamnya
Sementara itu, pajak merupakan penarikan harta dalam bentuk uang dari warga negara, dengan berbagai jenis dan metode pengumpulan. Contohnya adalah Pajak Penghasilan (PPh), yang besarannya bergantung pada pendapatan individu; Pajak Pertambahan Nilai (PPN), saat ini ditetapkan sebesar 11 persen dari konsumsi barang dan jasa; Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), yang berlaku untuk pemilik lahan seperti perkebunan, tambang, sawah, atau ladang; serta Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM), yang dikenakan pada penjualan barang mewah.”

Yusuf Wibisono, seorang peneliti di IDEAS (Institute For Demographic and Proverty Studies). Saat ini, ia menjabat sebagai Direktur Nect Policy sekaligus Dosen di Fakultas Ekonomi Universitas Indoensia (FEUI).
Seberapa besar dampak manfaat yang dihasilkan oleh pajak dan zakat?
Sebelum membahas lebih lanjut mengenai manfaat pajak dan zakat, Yusuf memaparkan data bahwa saat ini 35 persen dari populasi Indonesia hidup dalam kemiskinan. Sementara itu, 40 persen lainnya berada dalam kondisi rentan miskin atau termasuk calon kelas menengah, dan lebih dari 20 persen termasuk dalam kelas menengah. Hanya sekitar satu persen yang masuk dalam kategori kelas atas atau elit. Ini menunjukkan bahwa sebagian besar warga Indonesia masih berada dalam situasi ekonomi yang tidak pasti.
“Isu yang berkembang baru-baru ini mengenai rencana kenaikan PPN hingga 12 persen jelas menjadi kebijakan yang dirasa tidak adil bagi mayoritas masyarakat. Meskipun akhirnya dibatalkan, hal ini tetap menjadi kekhawatiran yang menakutkan.”
“Data di atas memperlihatkan bahwa konsumen barang dan jasa di Indonesia masih didominasi oleh kalangan masyarakat kelas bawah. Melihat pada kenaikan PPN dari 10 persen menjadi 11 persen pada 2022, hal ini berimbas pada penurunan jumlah penduduk kelas menengah, yang semula berjumlah 56,2 juta orang atau 20,68 persen, menjadi 52,1 juta orang atau 18,83 persen (antara Maret 2021 hingga Maret 2023).”
Melihat negara tetangga seperti Singapura dan Malaysia, yang tingkat kesejahteraan penduduknya lebih tinggi dibandingkan Indonesia, mereka hanya mengenakan tarif PPN sebesar 8-10 persen.
Sebenarnya ini bertentangan dengan tujuan peningkatan kesejahteraan masyarakat. PPN yang tinggi justru lebih banyak membebani konsumen dari kelas bawah. Sementara itu, pajak untuk pemilik pertambangan atau batu bara masih tergolong rendah, bahkan ada yang bebas pajak. Kebijakan seperti ini sangat disayangkan. Tidak ada prinsip keadilan di dalamnya,’ kata Yusuf.
Berbeda dengan zakat yang langsung disalurkan kepada penerima manfaat, hasil dari pemungutan pajak lebih difokuskan untuk memperkuat ketahanan negara, seperti membayar bunga utang negara, membayar gaji aparat pemerintah, dan baru setelah itu untuk kesejahteraan rakyat.
Memang, (pajak) berbeda dengan zakat. Prioritasnya (zakat) memang untuk disalurkan langsung kepada penerima manfaat,’ ujar Yusuf pada Senin (30/12/2024).
Jadi, apakah ada solusi untuk mengatasi problematika pajak ini?
Yusuf menegaskan bahwa reformasi hukum perpajakan perlu dilakukan agar tidak memberatkan masyarakat. Penerimaan pajak seharusnya lebih besar dari golongan warga kelas atas.
‘Seharusnya, lebih banyak pajak yang dipungut dari pelaku ekonomi besar, seperti sektor sawit, pertambangan, atau batu bara. Kami bukan menolak untuk membayar pajak, tapi kebijakan yang diterapkan haruslah adil,’ tegas Yusuf.
Selain itu, gerakan masyarakat sipil juga perlu diperkuat. Jejaring kolektif dengan kesadaran untuk saling membantu menjadi penting di tengah polemik ini.
Pendapat Yusuf Wibisono mengenai aktivisme Dompet Dhuafa sebagai organisasi kemanusiaan yang berbasis pada zakat.
Program dan inisiatif yang dilakukan Dompet Dhuafa sudah sangat baik, terutama karena telah diterapkan di berbagai sektor, seperti ekonomi, pendidikan, kesehatan, sosial budaya, dan dakwah,’ ujar Yusuf melalui Google Meet.
Menurutnya, Dompet Dhuafa telah berhasil membangun gerakan masyarakat yang kuat dan menyeluruh. Ia membaginya dalam tiga jangka waktu: pendek, menengah, dan panjang.
Untuk jangka pendek, ia menggambarkan Dompet Dhuafa sebagai pemadam kebakaran yang berusaha menyelamatkan sebanyak mungkin masyarakat yang membutuhkan, baik dengan cara langsung menyasar penerima manfaat.