Dompet Dhuafa Jogja – Batik adalah salah satu identitas budaya khas Indonesia. Pembuatan batik dengan penuh makna makna dan simbolisme yang melekat dan berakar pada budaya Indonesia. Oleh sebab itu, UNESCO menetapkan batik sebagai warisan kemanusiaan untuk budaya lisan tak benda asli Indonesia. Penetapan itu keluar sejak tanggal 2 Oktober 2009. Sampai sekarang tanggal tersebut kita sering memperingati sebagai Hari Batik Nasional sesuai dengan Keputusan Presiden Nomor 33 tahun 2009.
Secara bahasa, batik berasal dari kata “mbat” dan “tik”. Mbat artinya melempar berkali-kali, sedangkan tik berarti titik. Dalam tekniknya, pembuatan batik dengan menitikkan cairan lilin pada kain polos menggunakan alat bernama canting. Titik-titik tersebut membentuk garis dan motif yang menggambarkan simbol dan memiliki makna. Dengan teknik pewarnaan tertentu, sehingga menghasilkan kain sebagai karya bernilai tinggi.
Perjalanan batik di nusantara
Di nusantara, batik sudah di kenal sejak zaman Kerajaan Majapahit. Artinya, nenek moyang kita telah mengenal batik sejak abad ke-13 hingga 16. Meski demikian, batik mulai popular pada akhir abad ke-18. Pada masa itu, batik yang dikenal adalah batik tulis. Dari masa Kerajaan Majapahit, budaya batik terus berkembang hingga masa Kerajaan Mataram Islam dan kerajaan-kerajaan selanjutnya, yaitu Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat dan Kasunanan Surakarta Hadiningrat. Di lingkungan keraton, penggunaan batik sebagai kelengkapan busana sehari-hari dan upacara adat. Hingga pada abad ke-20, masyarakat mulai mengenal batik cap.
Pada masa dahulu, teknik membatik hanya di kuasai oleh ratu dan putri-putri keraton yang di bantu oleh abdi dalem perempuan. Laku membatik adalah bagian dari pembelajaran olah rasa, kesabaran, dan ketekunan. Maka tidak heran, hasil produk batik adalah batik dengan estetika paling halus yang melibatkan penguasaan teknik membatik yang rumit.
Penggunaan batik pada zaman kerajaan hanya di gunakan oleh raja, kerabatnya dan para abdi dalem. Orang biasa tidak boleh mengenakan kain batik. Seiring perjalanan waktu, kerabat dan abdi dalem keraton pun semakin banyak. Hal ini menjadikan kebutuhan kain batik juga semakin banyak. Pengerjaan membatik sudah tidak mencukupi lagi jika hanya melakukannya di lingkup keraton. Sejak saat itu pengerjaan membatik di bawa keluar keraton untuk mengerjakan di tempat tinggal masing-masing pekerja. Proses belajar terjadi secara alami di masyarakat hingga akhirnya pengenalan penguasaan teknik membatik semakin meluas. Penggunanya pun tidak sebatas pada orang-orang lingkup keraton saja, tapi juga orang-orang di luar keraton. Hingga akhirnya, keberadaan batik turut menjadi identitas sosial di masyarakat.

Budaya batik yang terancam punah
Seiring berjalannya waktu, dimulai sejak banyak orang mulai mengenal cara membatik, batik seolah mulai kehilangan kesakralannya. Batik sudah bukan lagi busana untuk kalangan tertentu saja. Batik yang awalnya adalah busana khusus raja dan kaum bangsawan, pada perkembangannya menjadi pakaian rakyat. Di lain sisi, batik dipandang sebagai piranti busana dengan kesan kuno atau jauh dari sifat modern oleh sebagian generasi muda. Jika hal ini terus berlangsung dan berkembang, bukan tidak mungkin batik sebagai salah satu ciri khas budaya bangsa menjadi pudar dan hilang.
Wukirsari, penghasil batik khas Mataraman
Salah satu daerah di Yogyakarta yang terkenal akan batik tulisnya adalah Imogiri. Di bawah bukit Imogiri yang merupakan makam para raja-raja Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat dan Kasunanan Surakarta Hadiningrat terdapat kampung pengrajin batik, salah satunya adalah Dusun Karangkulon, Wukirsari, Imogiri, Bantul, Yogyakarta. Makam Imogiri atau dikenal dengan Pajimatan Imogiri adalah aset keraton. Sudah menjadi keharusan saat memasuki area keraton, abdi dalem atau pengunjung wajib mengenakan kain batik. Sebagai aset keraton, maka banyak abdi dalem yang tinggal di sekitarnya. Hal ini mempengaruhi berkembangnya kemampuan membatik pada warga lokal di Wukirsari.
Sejak zaman dahulu, sebagian besar penduduk perempuan di Karangkulon berprofesi sebagai pembatik. Kemampuan para pembatik di Karangkulon sangat mumpuni. Mereka biasa mengerjakan motif batik halus khas Mataraman yang rumit sehingga mengharuskan ketelatenan dan ketekunan.
Baca Juga: Lestarikan Batik : Dompet Dhuafa Jogja Adakan Program SIDOMUKTI
Dompet Dhuafa Jogja turut melestarikan batik tulis
Wukirsari adalah salah satu desa yang terdampak parah gempa Bantul pada Mei 2006 lalu. Banyak para pembatik yang menjadi korban. Selain itu, aset-aset membatik pun rusak tertimpa reruntuhan bangunan. Kegiatan membatik seolah mati suri sejak saat itu. Dompet Dhuafa hadir membersamai pembatik di Wukirsari untuk membangun harapan, bangkit, dan menyongsong masa depan. Dengan dana zakat yang diamanahkan pada Dompet Dhuafa, workshop membatik tempat para pembatik melakukan aktivitasnya dibangun kembali. Peralatan-peralatan membatik yang rusak akibat gempa diperbarui sehingga bisa digunakan kembali. Untuk membangkitkan kembali kepercayaan warga Wukirsari bahwa batik masih bisa berjaya, pada 2007 Dompet Dhuafa menginisiasi pemecahan rekor MURI dengan membatik selendang terpanjang. Dengan penuh semangat para pembatik yang masih tersisa menorehkan malam (lilin) dengan canting pada kain putih sepanjang 1.200 meter. Harapan para pembatik kembali bersemi untuk terus berwirausaha batik. Suasana pun bercampur rasa haru mengingat saudara-saudara mereka sesama pembatik yang menjadi korban gempa.

Tidak hanya berhenti di situ, selama beberapa tahun setelahnya Dompet Dhuafa terus membersamai para pembatik di Wukirsari. Selain pembenahan segi fisik, Dompet Dhuafa juga meningkatkan kapasitas para pembatik. Sebelum gempa, para pembatik di Wukirsari hanya bisa membatik saja tanpa menguasai teknik pewarnaan. Dompet Dhuafa memfasilitasi beberapa pembatik agar mengerti cara dan prinsip-prinsip pewarnaan kain. Kini, pembatik-pembatik di Wukirsari tidak harus membawa kain batiknya ke kota untuk diwarnai. Beberapa di antara mereka telah bisa melakukan pewarnaan secara mandiri. Sehingga lebih efektif dari segi waktu dan biaya karena para pembatik tidak perlu jauh-jauh membawa kainnya batiknya ke kota.
Dunia terus tumbuh dan berkembang, demikian juga dalam hal pemasaran. Digital marketing adalah teknik pemasaran zaman sekarang. Pemasaran batik melalui digital marketing memberikan peluang besar pagi pembatik untuk memperkenalkan batik sebagai kekayaan budaya ke pasar yang lebih luas. Menilik berbagai keunggulannya, maka Dompet Dhuafa memfasilitasi para pembatik angkatan muda untuk belajar digital marketing. Dengan menggunakan media sosial, e-commerce, serta strategi SEO yang tepat, bisnis batik dapat menjangkau konsumen yang spesifik, meningkatkan brand awareness, dan menarik minat generasi muda terhadap warisan tradisional ini. Dengan mendekatkan batik pada metode-metode kekinian, harapannya kaum muda pun bisa ikut melestarikan budaya melalui caranya.
Dompet Dhuafa Jogja mengajarkan batik pada generasi muda
Masalah utama dari ancaman pudarnya warisan budaya batik di kalangan generasi muda khususnya anak-anak adalah kurangnya pengetahuan dan pemahaman tentang batik. Anak-anak hanya tahu bahwa batik adalah sebuah kain bermotif yang bisa dijadikan pakaian. Mereka tidak tahu bagaimana proses pembuatannya yang merupakan sebuah proses panjang. Lebih jauh lagi, generasi muda tidak tahu sejarah batik dan makna yang tergambar melalui motifnya. Sehingga ujungnya, mereka tidak mampu menghargai batik sebagai sebuah karya yang adiluhung. Hal tersebut bisa dipahami karena di lingkungan sekolah dan tempat tinggal mereka tidak ada yang memberikan pembelajaran tentang batik atau tidak ada yang mengajarkan batik.
Sumber belajar batik baik di sekolah maupun di masyarakat masih minim. Di sekolah, tidak ada guru yang mampu mengajarkan batik. Selain itu, perangkat lunak belajar mengajar batik di sekolah yang berupa kurikulum pun belum ada. Selain perangkat lunaknya, perangkat keras berupa fasilitas dan bahan membatik pun belum tersedia. Akibatnya anak-anak sebagai generasi penerus kebudayaan bangsa pun semakin jauh dari batik karena tidak pernah praktik membatik.

Selain pada sektor usahanya, Dompet Dhuafa juga melestarikan batik melalui dunia pendidikan. Melalui Program Sidomukti, Dompet Dhuafa membina guru-guru di sekolah dasar binaan untuk dapat mengajarkan batik secara terstruktur. Melalui program ini, para guru dituntun untuk merancang kurikulum belajar membatik. Selain itu, Dompet Dhuafa juga memfasilitasi alat dan bahan untuk praktik membatik.
Batik merupakan salah satu warisan budaya Indonesia yang telah diakui dunia dan mencerminkan kekayaan serta keragaman budaya bangsa. Melestarikan batik tidak hanya berarti menjaga keindahan seni dan teknik pembuatannya, tetapi juga menjaga identitas dan kebanggaan nasional. Mari kita bersama-sama melestarikan batik dengan cara mengenakannya dalam kehidupan sehari-hari, memperkenalkan keindahan batik kepada generasi muda, serta mendukung pengrajin lokal. Dengan melestarikan batik, kita turut menjaga keberlanjutan budaya yang menjadi ciri khas bangsa Indonesia di mata dunia.