Teladan Nabi Ibrahim dan Ismail, Awal Sejarah Idul Adha

Teladan Nabi Ibrahim dan Ismail, Awal Sejarah Idul Adha

Teladan Nabi Ibrahim dan Ismail, Awal Sejarah Idul Adha

Hari raya Idul Adha sering disebut sebagai hari raya haji. Hari Raya Idul Adha pelaksanaanya pada tanggal 10 Dzulhijah, yang mana biasanya umat muslim sedang melaksanakan ibadah haji dan melakukan wukuf di arafah pada hari itu.

Mereka umat muslim yang sedang melaksanakan wukuf semua memakai pakaian serba putih dan tidak berjahit atau di sebut pakaian ihram. Hal tersebut melambangkan persamaan akidah dan pandangan hidup, mempunyai tatanan nilai yaitu nilai persamaan dalam segala segi bidang kehidupan. Tidak dapat membedakan antara mereka, semuanya merasa sederajat. Sama-sama bertujuan untuk mendekatkan diri kepada Allah Yang Maha Kuasa, dengan bersama-sama membaca kalimat talbiyah.

Selain dinamakan hari raya haji, hari raya Idul Adha juga disebut juga sebagai “Idul kurban” karena pada hari itu Allah memberi kesempatan kepada kita untuk lebih mendekatkan diri kepada-Nya.

Sejarah Idul Adha

Jika melihat sisi historis dari perayaan Idul Adha, maka pikiran kita akan teringat kisah teladan Nabi Ibrahim. Yaitu ketika  Allah SWT memerintahkan untuk menempatkan istrinya pada suatu lembah yang tandus, gersang, tidak tumbuh sebatang pohon pun. Lembah itu demikian sunyi dan sepi tidak ada penghuni seorangpun. Yitu Siti Hajar bersama Nabi Ismail putranya, padahal saat itu Nabi Ismail masih menyusu.

Sementara Nabi Ibrahim sendiri tidak tahu, apa maksud sebenarnya dari wahyu Allah yang menyuruh menempatkan istri dan putranya yang masih bayi itu di suatu tempat paling asing. Yaitu di sebelah utara kurang lebih 1600 KM dari negaranya sendiri Palestina. Tapi baik Nabi Ibrahim, maupun istrinya Siti Hajar, menerima perintah itu dengan ikhlas dan penuh tawakkal.

Seperti Ibnu Abbas yang menceritakan bahwa tatkala Siti Hajar kehabisan air minum hingga tidak bisa menyusui Nabi Ismail. Siti Hajar mencari air kian kemari sambil lari-lari kecil (Sa’i) antara bukit Sofa dan Marwah sebanyak 7 kali. Tiba-tiba Allah mengutus malaikat jibril membuat mata air Zam Zam yang membuat Siti Hajar dan Nabi Ismail memperoleh sumber kehidupan.

Lembah yang dulunya gersang itu, mempunyai persediaan air yang melimpah-limpah. Datanglah manusia dari berbagai pelosok terutama para pedagang ke tempat Siti Hajar dan Nabi Ismail, untuk membeli air.

Awal dari Kemakmuran Kota

Datang rejeki dari berbagai penjuru, dan makmurlah tempat sekitarnya. Akhirnya lembah itu hingga saat ini terkenal dengan Kota Mekkah, sebuah kota yang aman dan makmur berkat doa Nabi Ibrahim dan berkat kecakapan seorang ibu dalam mengelola kota dan masyarakat.

Hingga saat ini Kota Makkah memiliki kemakmuran yang melimpah. Jamaah haji dari seluruh penjuru dunia, memperoleh fasilitas yang cukup, selama melakukan ibadah haji maupun umrah.

Hal itu membuktikan tingkat kemakmuran modern, dalam tata pemerintahan dan ekonomi. Serta keamanan hukum, sebagai faktor utama kemakmuran rakyat yang mengagumkan. Semua itu menjadi dalil, bahwa Allah SWT mengabulkan do’a Nabi Ibrahim. Pada akhirnya yang menikmati semua kemakmuran tidak hanya oleh orang Islam saja. Orang-orang yang tidak beragama Islam pun ikut menikmati.

Idul Adha dinamai juga “Idul Nahr” yang artinya hari raya penyembelihan. Hal ini untuk memperingati ujian paling berat yang menimpa Nabi Ibrahim. Akibat dari kesabaran dan ketabahan Ibrahim dalam menghadapi berbagai ujian dan cobaan, Allah memberinya sebuah anugerah, sebuah kehormatan “Khalilullah” (kekasih Allah).

Setelah menyandang gelar Al-khalil, Malaikat bertanya kepada Allah: “Ya Tuhanku, mengapa Engkau menjadikan Ibrahim sebagai kekasihmu. Padahal ia disibukkan oleh urusan kekayaannya dan keluarganya?” Allah berfirman: “Jangan menilai hambaku Ibrahim ini dengan ukuran lahiriyah, tengoklah isi hatinya dan amal baktinya!”

Uji Keimanan dan Ketaqwaan

Sebagai realisasi dari firman-Nya ini, Allah SWT mengizinkan pada para malaikat menguji keimanan serta ketaqwaan Nabi Ibrahim. Ternyata, kekayaan dan keluarganya tidak membuatnya lalai dalam taatnya kepada Allah.

Dalam kitab “Misykatul Anwar” menyebutkan konon, Nabi Ibrahim memiliki kekayaan 1000 ekor domba, 300 lembu, dan 100 ekor unta.

Sementara dalam Riwayat lain mengatakan, kekayaan Nabi Ibrahim mencapai 12.000 ekor ternak. Suatu jumlah yang menurut orang di zamannya adalah tergolong milliuner.

Ketika pada suatu hari, Ibrahim ditanya oleh seseorang “Milik siapa ternak sebanyak ini?” maka dijawabnya: “Kepunyaan Allah, tapi kini masih milikku. Sewaktu-waktu bila Allah menghendaki, aku serahkan semuanya. Jangankan cuma ternak, bila Allah meminta anak kesayanganku Ismail, niscaya akan aku serahkan juga.”

Melihat ketaatan Nabi Ibrahim tersebut, kita hendaknya yang hidup di masa setelahnya bisa meneladani sifat Beliau dalam menjalani kehidupan ini. Apa yang kita punya saat ini bukan sepenuhnya milik kita, namun merupakan titipan dari Yang Maha Kuasa.

Dari sejarah idul adha, semoga dapat kita ambil pelajaranya dan semakin meningkatkan keimanan dan ketaqwaan kita semua.

Tinggalkan Balasan

Alamat email anda tidak akan dipublikasikan. Required fields are marked *